SAYA BERJALAN BERSAMA MALAIKAT PELINDUNG 

Perkenalan ku pertama kali dengan suster-suster Jesus Maria Joseph terjadi ketika Sr. Auxilia Tandayu dan Sr. Bernadette Mokorimban datang ditanah kelahiranku, Tanjungpinang kepulauan Riau. Sebagai anggota Legio Maria Yunior saya bersama beberapa teman diminta menjemput para suster di airport. Seperti orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama, itu pulalah yang ku alami. Bersama beberapa teman kami kerapkali berkunjung ke susteran. Kami diperlihatkan ruang makan, ruang tidur, tempat berdoa. Sangat sederhana! Tapi bagi ku itu memberi kesan yang mendalam. Terlebih keadaan ruang doanya.

Kesaksian kesederhanaan, keramahtamahan and sukacita menjadi magnet bagi hati dan pikiranku, maka ketika Sr. Cantia Toar provinsial bertanya tentang keinginanku menjadi seorang suster, ku jawab dengan penuh keyakinan bahwa aku mau mengikuti Yesus dalam kongregasi ini.

Tanggal 22 Juli 1983, aku melangkahkan kaki masuk postulat. Setahun kemudian, tanggal 13 Juli1984 aku diperkenankan melanjutkan pembinaan di Novisiat dan dua tahun kemudian mengucapkan kaul pertama  tanggal 7 Juli 1986 merupakan momentum penting dalam hidupku, dimana aku mengalami fase-fase perubahan dalam hidup; dari manusia lama (seorang gadis) menjadi seorang religius. Di tempat-tempat ini aku mengalami keterkejutan-keterkejutan yang sebelumnya tidak pernah ada dalam imajinasiku. Ternyata semua calon dan semua biarawati adalah manusia biasa yang juga bisa jatuh dalam kelemahan-kelemahan manusiawinya. Pengalaman-pengalaman ini membawaku kepada sebuah refleksi mendalam dan itu menjadi sebuah pengalaman penting dalam hidup batinku dan fondasi hidupku menjadi seorang religius SJMJ. Bahwa Allah memanggil orang-orang yang lemah untuk menyatakan kekuasaan-Nya (bdk 2 Kor 12:9).

Pembinaan awal menjadi kunci peneguhan dalam pengalaman perjalanan rohani. Lewat kebersamaan di dalam komunitas pembinaan, kami menjalani sebuah proses yang menyakitkan tetapi menyembuhkan. Mengapa ku katakan demikian? Menyakitkan karena kami diajak mengolah diri, menggali akar persoalan diri dan diajak untuk menerima diri dan keluar dari manusia lama menjadi seorang religius SJMJ. Melalui rekoleksi-rekoleksi, melalui retret agung, melalui pengolahan diri, melalui konferensi-konferensi sejarah Kongregasi, pendalaman spiritualitas kutemui jawaban bahwa fokus hidupku adalah satu, yaitu Yesus.

Orientasi hidup inilah yang menjadi peganganku dalam melanjutkan perjalanan menuju tujuan. Bukan tanpa halangan dan tantangan. Namun kongregasi melalui para pemimpin, formator, komunitas-komunitas dimana aku pernah hidup, aku merasakan bahwa kongregasi adalah malaekat pelindungku dan menjadi ibuku dalam hidup rohani. Dari rahim kongregasi SJMJ aku dilahirkan menjadi seorang religius. Sebagai ibu, Kongregasi telah melindungi aku seperti malaekat pelindung yang melindungi aku dengan sayap keibuannya untuk memberikan kepadaku perlindungan hidup, baik secara rohani maupun jasmani agar fokus pada tujuan hidup tidak kabur ataupun lenyap saat  angin dan badai hidup bertiup kencang.

Disaat aku sungguh tidak berdaya, dihadapkan pada dilema hidup: pilihan antara panggilan dan masa depan adikku yang cacat, kongregasi lewat Sr. Agneta datang menggantikan ibuku yang telah tiada  mengambil alih tanggungjawabku sebagai yang sulung dari lima bersaudara. Sampai saat ini aku tenang bekerja dan merasul karena ku percaya ada rekan-rekan kongregasi yang memelihara adikku dengan sabar dan teliti melebihi saudara-saudara kandungnya.

Kehangatan hati ibu, berulangkali kudapatkan sekalipun usiaku semakin bertambah. Aku tidak dibiarkan berjuang menghadapi kegerahan hati. Pendampingan kerja dan pendampingan hidup batin tetap diberikan. Saat aku merasa bahwa aku perlu membina kerendahan hati dan memohon menjadi seorang guru (bukan kepala sekolah), aku diberi kesempatan selama 6 tahun mengajar di SMP St. Yoseph-Denpasar.  Dan saat itu pengalaman bekerja dengan yayasan lain, dengan pimpinannya yang adalah seorang awam mendidikku menjadi seorang yang lebih terbuka dengan situasi dan kondisi. Begitu pula saat aku merasa kering, tidak serta merta pimpinan menjatuhkan hukuman seperti seorang hakim, melainkan aku diajak bicara dan dialog. Dan aku diberikan sarana untuk mengobati luka di hati yakni pengolahan di retret agung.

Saat ini diusia yang ke 38 dalam hidup membiara, aku tetap merasakan kehangatan kongregasi sebagai ibu. Seperti malaekat pelindungku, kongregasi melindungi aku dengan kepak kehangatan sayapnya sehingga aku semakin mencintai Dia yang memanggilku walaupun godaan-godaan dan tawaran dunia menawarkan janji-janjinya yang menawan. Dan pengalaman-pengalan itu menguatkan keyakinanku  “kepada siapa aku memberikan seluruh masa depanku”.

Terimakasih Kongregasi SJMJ, terimakasih karena telah menjadi ibu religius bagi ku. Proficiat atas usiamu yang ke-200. Semoga engkau tetap menjadi ibu dan menjadi malaekat pelindung bagi para pemudi yang mau beribu dengan mu dan meminta perlindungan untuk mencapai tujuan hidup mereka kepada Yesus.

"Ibu adalah segalanya - dia adalah hiburan dalam kesedihan kita, harapan dalam penderitaan, dan kekuatan dalam kelemahan. Dia adalah sumber cinta, kasih sayang, simpati, dan pengampunan. Orang yang kehilangan ibunya telah kehilangan jiwa murni yang selalu memberkati dan melindunginya." (Kahlil Gibran)

Sr. Anna Endang - Cengkareng